Sabtu, 16 Oktober 2010

Serabi Semarang





Seperti biasa kalau ada di rumah, aku mencari-cari bahan apa yg ada di kulkas untuk dijadikan kudapan. Woo..aku menemukan, kinco ½ botol aqua, saus dari gula merah ini sisa waktu aku menyiapkan ketan kinco untuk saudara2 di arisan minggu lalu. Wah buat makanan apa nih yang salah satu bahannya kinco. Terkelebat di pikiran beberapa kudapan dari es dawet sampe bubur sumsum. Ingat ketan kinco kemarin..ingat salah satu jajanan di Semarang, yang biasa dijajakan berkeliling di sore hari oleh mbok2 yang biasanya dari daerah Sendang Guwo Semarang. Ah apa lagi kalau bukan serabi dengan ukuran kecil2 yang diguyur santan dan kinco..ehmm, gurihnya. Di Semarang rasanya juga sudah jarang penjual makanan ini.

Agak beda dengan serabi Bandung, yang ukurannya besar2 , biasanya terbuat dari terigu & diwarnai hijau, serabi Semarang ukurannya lebih kecil, tanpa diwarnai terbuat dari tepung beras . Kalau biasanya kuah serabi Bandung dari santan dimasak bersama dengan gula merah; serabi Semarang santan dan gulanya (kinco) dipisah . Sehingga kadar kemanisan bisa disesuaikan dengan selera; terutama untuk penderita diabetes; kalau mau pakai kinconya sedikit juga bisa. Oleh sebab itu di resep ini sengaja aku buat adonan serabinya diberi gula sedikit untuk memberi rasa manis; yg dapat dimakan hanya dengan santan tanpa kinco (saus gula merah).

Nah iseng aku buat untuk kudapan sebagai teman 'ngeteh'; dan ini resepnya ala Kembang mangkok :


Bahan : Serabi

Tepung beras 175 gr
Tepung terigu 150 gr
Gula pasir 50 gr
Garam 1 sd teh
Santan 500 ml
Baking powder 2 sd teh
Fermipan, 1/2 sd teh
Telur 2 butir

Cara membuat :
1. Campur semua bahan, encerkan dengan santan perlahan-lahan aduk dengan mixer supaya rata. Diamkan 20 menit, supaya adonan mengembang
2. Panaskan cetakan serabi; oleskan sedikit minyak dengan kuas; tuang adonan, tutup dgn tutup cetakan/tutup panci.
3. Ketika adonan sudah berpori, buka tutup cetakan dan angkat serabi nyg telah matang.
4. Ulangi sampai adonan habis

Kuah Santan:
Santan kental
Garam
Daun pandan

Masak santan , tambahkan garam dan daun pandan ,aduk sampai mendidih (diaduk terus supaya tidak pecah)

Kinco (saus gula merah) :
Gula jawa 250 gr
Air 250 ml
Sedikit jahe di memarkan
Pandan

Masak gula merah, air , sedikit jahe dan pandan sampai mendidih. Angkat dan dinginkan.

Sajikan serabi, guyur dengan santan dan tambahkan kinco (saus gula merah).

Jumat, 08 Oktober 2010

Nyapu Latar (Menyapu Halaman Rumah)




Berkesempatan ditugaskan beberapa hari balik ke ‘kampung halaman’ dalam arti sebenarnya tidak hanya ke Semarang, tapi ke Tegalsari….kampung dimana aku dibesarkan ..woi betapa kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Terbayang pagi-pagi bisa jalan-jalan menyusuri jalanan kampung untuk menuju ke rumah. Biasanya kalau ke rumah Tegalsari aku & kel karena dari Pedurungan (tempat dimana aku menginap kalau di Semarang) jauh,maka harus pakai mobil dan hanya lewat satu jalan saja masuk dari Sriwijaya lewat gang Tegalwareng Sendang. Tapi sekarang karena disediakan penginapan yang kebetulan berlokasi di Tegalsari Barat , aku bisa menggilir jalan-jalan menyusuri gang demi gang :Tegalsari 1, Taman Tegalsari dan Tegalsari Barat. Adalah Learning Center tempat tujuan dinasku kali ini. Baru sekali ini aku berkesempatan ke LC Semarang . Walaupun hanya 3 hari, segera kususun jadwal untuk mengitari kampung misal: hari pertama jalan pagi menyusuri kali (sungai) di Taman Tegalsari atau lebih tepat kusebut kanal. Kanal ? karena saluran irigasi peninggalan Belanda ini dibangun dengan kokoh, lebar 5 meteran dan dalam sekitar 25 m; sehingga bisa menampung debit air banyak untuk menghindari banjir.Mana ada jaman kemerdekaan sekarang pemerintah membangun saluran irigasi demikian dalam dan berpondasi batu yg kokoh di lereng-lerengnya. Konon dimasa kecilnya kakakku tertua mas Pras sering bermain memasuki kanal ini, tembus sampai di THR Tegalwareng.

Tidak hanya itu terbayang sambil jalan pagi aku bisa beli bubur, ketan kinco (ketan panas2 yang ditaburi kelapa parut dan diguyur saus gula jawa kental), ketan bubuk (ketan panas2 yang ditaburi bubuk dari kedele..hemm gurihnya) atau ketan kering (ketan yang ditaburi kering tempe) semuanya khas Semarang. Makanan ini dahulu dijajakan oleh beberapa tetangga di depan rumah mereka. Tapi sekarang siapa yang jual makanan itu?

Sederetan rencana lain telah tersusun untuk disempatkan di sela waktu kosong kegiatan belajar, seolah-olah ada cukup banyak waktu untuk melakukan rencana itu. Ya hanya pagi-pagi hari dan malam hari tentunya…bisa dilakukan.

Ternyata di luar dugaan aku hanya bisa merealisasikan niatku untuk jalan jalan senja , dan nggak sempat untuk jalan-jalan pagi; karena ada beberapa tugas susulan yang harus kuselesaikan dan harus segera dikirim lewat email. Lucunya aku justru mendapat banyak cerita dari teman-teman se pelatihan yang menyempatkan diri jalan pagi dari Tegalsari sampai ke RS Elizabeth. Satu kesan yang sempat tersampaikan adalah keheranan akan kampung yang berkontur; “ kampungnya bertingkat-tingkat, kata mereka”. Memang Semarang adalah kota bertingkat lima (bener nggak ya?); kalau coba kita tarik garis dari Simpang lima sebagai tingkat pertama naik sampai dengan ke perbatasan Ungaran. Dari Simpang Lima di tingkat 1 merayap sedikit ke Siranda sampai dengan RS Elizabeth adalah tingkat ke 2; dari Elizabeth menuju ke Jatingaleh lewat Kaliwiru adalah tingkat ketiga. Tingkat ke empat Jatingaleh sampai ke Banyumanik. Dan tingkat lima Banyumanik sampai Watugong. Kebetulan kampungku Tegalsari bisa dikategorikan tingkat 2. Kembali ke kesan teman2ku , selain berkontur perkampungannya hampir di setiap gang bersih, jalan kampung yang beraspal, atau dibeton rapi dengan selokan dipinggirnya yang biasa kami sebut “kalen” hampir tidak ada sampah. Hem…agak bangga juga aku mendengarnya. Mungkin karena mereka biasa tinggal di Jakarta dimana sering melihat bahwa perkampungan identik kotor & kumuh. Bagaimana nggak kotor banyak pendatang yang tinggal di perkampungan Jakarta hanya sebagai ‘kontraktor’. Sebagai pendatang dan kontrak rumah dengan orang Betawi, mereka biasanya tidak peduli dengan lingkungan. Lain dengan kehidupan perkampungan di Semarang khususnya Tegalsari; kebiasan yang ditanamkan di setiap rumah dan hampir menjadi tradisi adalah ‘nyapu latar’ atau menyapu halaman. Temanku sempat berseloroh ‘nyapu latar’ atau ‘nyapu ratan’ bu? Ha..iya betul bagi rumah yang tidak punya halaman ‘nyapu latar ‘ menjadi ‘nyapu ratan’ artinya menyapu jalan.Tadi memang sempat melihat ibu-ibu pada nyapu di jalan depan rumah mereka,”kata temanku.

Teringat dulu; pekerjaan nyapu latar adalah pekerjaan warisan , mulai dari kakak2ku sampai akhirnya jatuh ke tanganku karena aku anak bungsu. Setiap hari..kami harus melakukan itu, kegiatan mandatory selain ‘nyapu rumah’. Biasanya kami mengerjakan kalau nggak pagi hari ya sore hari, selain untuk membersihkan halaman atau jalan, kegiatan ini menjadi media untuk silaturahmi , saling menyapa antar tetangga. Aku biasa mengerjakan sore hari; jika cuaca mendung, ibu (alm) akan cepat-cepat meminta untuk ambil sapu sebelum hujan datang. Alhasil tidak akan ada sampah yang masuk ke selokan ketika hujan; karena halaman dan jalan sudah bersih sebelum terguyur air hujan.

Mungkin kami waktu itu tidak pernah menyadari, tugas yang dibebankan kami itu secara langsung berdampak sangat besar selain sangat berpengaruh untuk menjaga kebersihan lingkungan; mencegah genangan air/banjir dan jalan juga tidak cepat rusak. Kebetulan karena Tegalsari ada di kota tingkat 2; jadi bebas banjir; tapi tetap saja kalau kotoran menumpuk di got2 pastilah airnya tumpah ruah menggenangi jalan. Sekarang banjir di Semarang banyak disebabkan karena rob (naiknya air laut); aku juga heran rasanya jaman aku kecil dulu tidak ada istilah banjir ‘rob’; atau karena dampak banyaknya pembangunan perumahan di kota bawah.

Baru terpikir sekarang, setelah keluar dari kota Semarang belasan tahun lalu; nyapu latar mungkin sudah tidak lagi atau bahkan tidak menjadi bagian aktifitas yang harus dikerjakan oleh warga Jakarta dan kota satelit disekitarnya. Pantas di lingkungan rumah kami di Depok (kebetulan aku sekarang tinggal di perkampungan juga) kalau hujan sampah-sampah begitu berserakan di jalanan; ooh apa ini karena tidak ada budaya ‘nyapu latar’ dan nyapu ratan?

Terpikir untuk membudayakan kebiasaan itu di lingkungan sekitar sekarang; toh di perkampungan banyak ibu-ibu yang tidak bekerja, artinya peran untuk menjaga kebersihan rumah & sekitar bisa setiap hari dilakukan, tinggal kepedulian mereka terhadap kebersihan lingkunganlah yang harus ditingkatkan. Bagaimana caranya? Itu yg harus dicari cara dan medianya …mengingat aku sendiri jarang di rumah , mungkin harus dicari lebih banyak waktu untuk ‘engage’ dengan lingkungan sekitar, lewat arisan, lewat pengajian…….woi..ternyata masih ada yang harus dikerjakan …selain responsibility as housewife and working woman…also as a citizens society ….

Semoga…